Senin, 05 Desember 2016

Indonesians rally for unity after blasphemy protests

Crowds gather in Jakarta in response to protests against city's Christian governor who is accused of blasphemy.

Tens of thousands of Indonesians have rallied in Jakarta, the Indonesian capital, calling for tolerance and unity after massive protests were held against the city's Christian governor.
The crowds on Sunday filled a major traffic circle in Jakarta and sprawled into its main thoroughfares, waving "We Are Indonesia" signs and a giant red-and-white national flag was held aloft.
The rally was held in response to protests against Governor Basuki Tjahaja Purnama, who is being prosecuted for alleged blasphemy.
Jakarta has been rocked in the past months by major protests against Purnama, who is accused of insulting Islam by criticising opponents who used Quranic references to attack him ahead of an election in February.
Protesters took to the streets on Friday in the latest rally targeting him, demanding Punama be jailed on blasphemy charges. A similar rally was held on November 4, both attracting tens of thousands of people.
Purnama is a long-term ally of President Joko Widodo. He denies wrongdoing, but has apologised for the remarks.

'Detention not necessary'

Conservative Muslim groups are demanding his immediate arrest. Police say his detention is not necessary and have called for the respect of the legal process.
Sunday's counter-rally for tolerance and unity coincided with a weekly car-free morning in Jakarta when a central artery of the city is handed over to pedestrians for a few hours.
Organisers called it the "Parade of Indonesian Culture" and it featured traditional dances from Sabang in westernmost Aceh to Merauke in easternmost Papua.
The Jakarta government has also put up signboards on major roads calling for national unity and displaying pictures of independence heroes who fought against colonial rule.
Purnama is popular with many for pushing through tough reforms to modernise the traffic-plagued capital.
However, opinion polls have shown him slipping into second place in the race for re-election as governor.
Indonesia is home to the world's largest Muslim population, and less than nine percent of Indonesians are Christians.

Mengapa Fatwa Gus Mus dan SAS Terkait Larangan Sholat Jum’at Dijalan Tak Ditaati Umat Islam? Ini Jawabannya

Posted on 
Argumentasi sederhana ini cukup telak mematahkan fatwa Gus Mus dan Said Aqil Siradj (SAS) terkait larangan sholat Jum’at di jalan. Gus Mus sebut sholat Jum’at di jalan adalah bid’ah besar, sedangkan Said Aqil Siradj sebut tidak sah.
Faktanya, bukan cuma jutaan umat Islam yang tidak mau melaksanakan fatwa Gus Mus dan Said itu, Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla serta jajarannya pun mengabaikan fatwa petinggi organisasi PBNU itu.
Kenapa bisa demikian? Ulasan sederhana dari Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur KH Ahmad Musta’in Syafi’ie yang berjudul: “DAHSYATNYA ENERGI AL-MAIDAH:51” ini coba menjawabnya.
DAHSYATNYA ENERGI AL-MAIDAH:51
Oleh : KH Ahmad Musta’in Syafi’ie
Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur
Sekian lama kiai toleransi sengaja “menyembunyikan-mu”, wahai al-Maidah:51. Ternyata Pemilikmu tersinggung. Lalu, dengan cara-Nya sendiri Dia bertindak. Cukup lidah Ahok diplesetkan dan NKRI tersentak menggelegar, menggelepar. Kita petik hikmahnya :
1. Aksi 411 and 212 adlh bukti bhw Allah SWT itu ada dan kehendakNya tdk bisa dibendung oleh siapapun. Pemerintah trpaksa harus mengalah, pdhal sblumnya Jokowi sdh pamer militer. Kini aksi diarahkan menjadi doa. Ternyata malah punya daya tarik yg luar biasa. Sluruh negeri menyambut dg nama berbeda, aksi Nusantara Bersatu, istighatsah militer dll.
Negara jg trpaksa mengeluarkan dana sangt besar utk menfasilitasi aksi 212. Aparat di jalanan trpaksa harus menyesuaikan diri dg menggunakan simbol-simbol islam. Polisi pakai surban putih, membuat tim khusus bernama ASMAUL HUSNA, polwan serentak berjilbab, Habib papan atas memimpin istighatsah pakai ikat merah-putih melilit kepala. Lucu (?). Mungkin Tuhan sdng menjewer telinga kita, agar slalu “putih” dlm mengemban amanat.
2. Mestinya penguasa dan para cukong sadar, bhw negeri ini lebih didirikan oleh teriak “Allah Akbar” ketimbang “Haliluya”. Umat islam yg selama ini diam, kini sbgian kecil berani menunjukkan jati dirinya scra alamiah dan sangat militan. Inilah yg disebut “silent majority”. Maka jangan coba-coba mengusik “air tenang” jika tidak ingin hanyut.
3. Aksi ini sungguh peringatan, bahwa : tasamuh, tawazun, tawassut yg dislogankan NU itu perlu ditinjau kembali. Bukan pada konsepnya, tapi praktiknya. Di samping ada batasan, wajib apa pengawalan yg tegas dan bijak. Sadarlah, betapa kaum Nahdliyin diam-diam mengapresiasi aksi ini secara suka rela. Artinya, mereka sdh mulai tdk sudi dan meninggalkan gaya PBNU yg tk jelas. Sok toleransi, tapi tak ada aksi. Berdalih” RAHMATAN LIL ‘ALAMIN” tapi sejatinya “ADL’AFUL IMAN”.
Dialah Rasulullah SAW, saat pribadinya disakiti, memaaf. Jika agama dinista, beliau marah besar. Bbrpa suku dan pribadi dikutuk dan dilaknat. Mukmin beneran itu tegas-keras kepada kafir, berkasih sayang sesama mukmin, ” asyidda’ ‘ala al-kuffar, ruhama’ bainahum” (Al-Fath:29). Tapi sebagian oknum PBNU, kiai toleransi, kiai seni sekarang cenderung sebaliknya, “asyidda’ ‘ala al-mukminin, ruhama’ bain al-kuffar”. (?)
4. Gus Mus yg membid’ahkan shalat jum’ah di jalan raya dan kiai Sa’id yg menghukumi tdk sah skrang diam soal shalat jum’ah di Silang Monas. Wonten punopo kiai?. Begitulah bila fatwa beraroma dan tendensius, hanya melihat illat hukum secara pendek dan sesaat. Terlalu naif menggunakan ikhtifah fiqih utk kepentingan politik.
Benar, jika itu mengganggu lalu lintas. Tapi hanya sebentar dan hanya pengguna jalan yg ketepatan lewat. Stelahnya, ada maslahah sangat besar bagi umat islam pd umumnya. Maslahah inilah yg tdk beliau lihat. Lagian, tradisi kita sdh biasa menutup jalan utk majlis dzikir, istighatsah, trmasuk haul Gus Dur di pesantren Tebuireng.
Gus Mus pernah mencak-mencak saat amaliah kaum Nahdliyin dibid’ahkan, tapi sekarang ganti membid’ahkan sesama muslim, “bid’ah besar”. Ternyata, amunisi bid’ah yg ditembakkan Gus Mus ini lbh besar dibanding bid’ah yg ditembakkan nonnahdliyin.
Skedar mmbaca sejarah, bhw zaman Umar ibn al-Khattab, tentara islam shalat jum’ah di jalan sblum menaklukkan negeri futuhat. Sultan Muhammad al-Fatih shalat jum’ah di sepanjang pantai Marmara sebelum menjebol benteng Konstatinopel. Inilah awal khilafah Utsmniyah berdiri. Sekali lagi, orang ‘alim mesti melihat sisi maslahah jauh ke depan ketimbang illat “bid’ah” sesaat.
Mengagumkan, fatwa dan puisi Gus Mus begitu manusiawi, tawadlu’, filosufis dan sufistik sehingga mengesankan derajat beliau telah mencapai hakekat keagamaan. Tiba-tiba tega merendahkan ilmu kiai-kiai MUI dengan mengatakan ilmu Syafi’i Ma’arif lebih tinggi. Sungguh membuat penulis tercengang. Ya. karena pernah kuliah di Jogya dan sedikit tahu.
Merendahkan ilmu kiai-kiai MUI sama saja dg merendahkan ilmu ketua Syuriah NU, KH. Ma’ruf Amin. Begitu cerdiknya Gus Mus, “sekali dayung dua kepala kena pentung”. Penulis membatin, ” kok bisa, sekelas ketua Syuriah NU tega merendahkan sesama ketua Syuriah. Ini fenomena apa?”. Hadana Allah. Terpujilah kiai Makruf tdk meladeni. Meski demikian, akan lebih elegan bila kiai Ma’ruf Amin tdk merangkap jabatan. Mohon maaf kiai.